BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Maju
dan berkembangnya suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga
negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Reformasi relasi gender dan hak azasi politik ini merupakan aspek penting
demokrasi. Karena, keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka sebagai
warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Dalam
perspektif gender yang diusung oleh kalangan feminis yang menyatakan bahwa
perempuan harus dilibatkan dalam kedudukan yang sejajar dengan laki-laki di
seluruh bidang pembangunan termasuk dalam bidang politik. Dilibatkannya
perempuan dalam bidang politik maka dalam setiap pengambilan kebijakan akan
menghadirkan sensitifitas gender. Perempuan selalu di asumsikan untuk melakukan
pekerjaan di rumah. Maka dari itu kebanyakan perempuan tidak mendapatkan
keadilan hampir dalam semua bidang. Di Indonesia perempuan kerap kali tidak
mendapatkan kebebasan untuk melanjutkan pendidikan. Karena, mayoritas
masyarakat berfikir perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena
perempuan akan berakhir di rumah saja. Namun, di era yang sudah modern ini kaum
perempuan berhasil meruntuhkan prinsip tersebut. Banyak sekali perempuan yang
sudah berkecimpungan di dunia pendidikan dan politik. Bahkan perempuan bisa
menjabat menjadi Presiden RI. Namun, tak khayal perempuan dianggap remeh oleh
orang lain dalam dunia politik. Maka dari itu masih banyak sekali kasus-kasus
politik yang mendiskriminasi para perempuan. Dan dalam makalah ini kita akan membahas
lebih dalam lagi mengenai Reformasi Gender dan Hak Azasi Politik di Indonesia.
1.2
Rumusan
masalah
1. Apa
pengertian dari reformasi gender?
2. Apa
pengertian dari hak azasi politik?
3. Bagaimana
keadaan reformasi gender dan hak azasi politik di Indonesia?
4. Apa
hubungan antara reformasi gender dan azasi politik?
5. Bagaimana
solusi yang tepat dari masalah tersebut?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari reformasi gender
2. Untuk
mengetahui pengertian dari hak azasi politik
3. Untuk
mengetahui keadaan reformasi gender dan hak azasi politik di Indonesia
4. Untuk
mengetahui hubungan reformasi gender dan hak azasi politik
5. Untuk
menemukan solusi yang tepat dari permasalahan tersebut
BAB
II
PEMBAHASAN
Di zaman modern ini, bukan hanya laki-laki yang mampu
berkontribusi dalam dunia politik, perempuan juga. Namun, porsi perempuan dalam
dunia politik masih diberi batasan sampai 30% saja. Eka Komariah Kuncoro berpendapat melalui media Kompas,
ia bercerita bahwa pernah ada suatu pembahasan masalah yang beranggotakan 50
orang anggota dan hanya terdapat satu di Indonesia perempuan sudah lebih
bergerak menunjukan kebangkitannya yang dikenal anggota perempuan. Dan ketika
anggota perempuan tersebut berupaya menyampaikan ide agar keputusan yang
diambil mempertimbangkan kepentingan perempuan, maka para anggota laki-laki
yang lain langsung menyoraki seakan hal itu sesuatu yang memalukan. Namun di
zaman sekarang ini dengan reformasi gender.
2.1 Reformasi gender
Reformasi
gender ini sendiri diartikan sebagai era kebangkitan perempuan tanpa mengurangi
atau merendahkan laki-laki lainnya. Reformasi gender ini lebih difokuskan dalam
bidang politik di Indonesia. Karena keadaan perempuan di bidang politik ini
sangat mengkhawatirkan sebab dari 30 persen jatah wanita di politik hanya 15
persen saja yang baru terisi.
2.2 Hak Azasi Politik
Hak azasi politik ialah hak-hak manusia yang
mendasar dalam kehidupan berpolitik, yang tidak bisa di rampas begitu saja.
Sesuai dengan tujuan politik untuk
mendapatkan kedudukan atau kekuasaan, dimana manusia bebas dalam berekpresi,
katakanlah ber politik, manusia dapat menjalankan dunia perpolitikannya dengan
bebas guna untuk mencapai suatu tujuan, atau kekuasaan. Beberapa contoh hak
asasi politik :
Ø Hak
memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
Ø Hak
keikutsertaan dalam kegiatan
pemerintahan
Ø Hak
mendirikan parpol dan organisasi politik lainnya
Ø Hak
untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
2.3 Keadaan reformasi
gender dan hak azasi politik di Indonesia
Perubahan yang terjadi dalam hal kesetaraan hak
gender dalam hal ini wanita di Indonesia sejak reformasi tahun 1998 belum
terlalu banyak berubah. Meski reformasi
membawa banyak perubahan dari sisi kebebasan berpendapat, namun saat ini masih
banyak ditemui banyak
kasus diskriminasi yang dialami oleh perempuan.
Peneliti dari CEDAW (The Convention on the Elimination of
all Forms of Discrimination Against Women) Working Group, Estu Fanani,
mengatakan bahwa saat ini tindakan diskriminatif terhadap kaum perempuan masih
banyak terjadi. Menurutnya, masih banyak
praktik-praktik diskriminasi hak wanita dalam berbagai bidang di Indonesia
contohnya dalam hal politik. Praktik
diskriminasi masih dialami perempuan dengan banyak bentuk. Salah satunya
terkait soal kuota keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan dan
pembuatan kebijakan pemerintah
hanya sekitar 30 persen.
Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003
menyatakan bahwa setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Namun dalam kenyataannya hal itu masih berbanding terbalik, kata Estu, keterwakilan kaum perempuan yang duduk di
badan legislatif saat ini hanya sekitar 15 persen saja yang seharusnya wanita diberi kesempatan sampai
30 persen.
"Dan perlu dilihat lagi apakah dari 15 persen
tersebut paham akan persoalan politik," ungkapnya. Karena masih banyak wanita yang buta pengetahuan atau
kurangnya mengerti dalam bidang politik.
Diskriminasi yang dialami perempuan juga terjadi di ranah
sosial dan budaya. Menurut Estu sudah sejak lama dari nenek moyang kita yang terdahulu berfikir bahwa perempuan mengalami keterbatasan dalam kebebasan di tengah masyarakat. Artinya, masyarakat masih
memandang rendah peran perempuan hanya terbatas di ranah tertentu saja,
misalnya dalam ranah rumah tangga atau seputar persoalan dapur.
Selain itu, perempuan yang menduduki posisi strategis di
pekerjaannya pun tidak bisa dilepaskan dari pandangan
negatif. Perempuan kerap dipandang tidak bisa mengambil keputusan atau membuat
kebijakan seperti kaum laki-laki.
Ia menuturkan hal tersebut disebabkan karena masih adanya
pola pendidikan keluarga di Indonesia yang tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Di lingkup keluarga, masih banyak perempuan yang tidak dilibatkan dalam
hal pengambilan keputusan. Penyebab lain yaitu masih adanya nilai-nilai
di masyarakat yang menyudutkan perempuan.
Estu mencontohkan, adanya anggapan bahwa seorang
laki-laki tidak boleh menangis karena akan dianggap lemah. Sedangkan perempuan
yang menangis akan dipandang sebagai satu hal yang biasa karena perempuan
dianggap sebagai individu yang lemah.
Selain itu di masyarakat itu
sendiri juga masih ada pemikiran bahwa perempuan dianggep sebagai manusiayang
tidak mandiri. Dan karena pemikiran diatas itu
pula meski sudah ada sosok-sosok wanita yang berkecimpung di dunia politik,
rata-rata para wanita itu hanya mendapatkan jabatan yang “lembut”. Contohnya
dalam lembaga legislatif Negara yaitu DPR, presentasi tertinggi komisi yang
mempunyai jumlah wanita yang paling tinggi ialah Komisi VII yang membidangi
kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan perempuan dan disusul oleh Komisi VI
yang mengurusi agama, pendidikan dan budaya.
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan
perempuan sebagai anggota legislatif :
1.
Konteks budaya di
Indonesia yang masih sangat
kental asas patriarki yaitu suatu sistem social yang menganggap bahwa laki-laki
adalah pemegang kekuasaan tertinggi dan mendominasi dalam dunia politik
sedangkan wanita hanya dianggap sebagai untuk
menjadi anggota parlemen.
2.
Proses seleksi dalam
partai politik. Seleksi
terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil
pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu
laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan
keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari
partai-partai politik mempunyai
pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai,
khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh
banyak dukungan dari
partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh
kaum laki-laki.
3.
Berhubungan dengan
media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi
perempuan dalam parlemen.
4.
Tidak adanya
jaringan antara organisasi massa, LSM dan partaipartai
politik untuk memperjuangkan representasi perempuan.
Jaringan
organisasi-organisasi wanita di Indonesia baru mulai
memainkan peranan penting
sejak tahun 1999.
Namun, sejak zaman pemerintahan B.J.
Habibie telah banyak muncul organisasi non-politik yang membantu dalam
menyuarakan hak perempuan dalam dunia politik. Ditambah pada zaman pemerintahan
Abdurrahman Wahid telah muncul organisasi anggota-anggota parlementer dan Pusat
pemberdayaan politik perempuan.
2.4 Hubungan antara
reformasi gender dengan hak azasi politik
Lalu
apakah ada hubungan antara reformasi gender dan juga hak asasi? tentu saja ada.
Salah satu keinginan masyarakat ketika reformasi 1998, ialah memiliki kehidupan
yang lebih bebas di banding ketika masa Orde Lama. Namun, banyak warga
Indonesia yang menggunakan kebebasan itu secara semena-mena. Contohnya saja
masih ada warga yang rasis, dimana kaum mayoritas masih merendah kan kaum
minoritas. Juga, kaum wanita yang masih direndehkan oleh kaum pria. Sebagian
pria, masih berpikiran bahwa wanita tidak berhak untuk bekerja mencari nafkah
di kantor. Wanita hanya bekerja di dapur, sumur, dan juga kasur. Dengan begini,
hak asasi di Indonesia masih berjalan di tempat, belum ada perubahan yang
signifikan dikarenakan masih banyaknya pelanggaran HAM.
Lalu,
bagaimana cara mengatasi diskriminasi suatu golongan di Indonesia? Ada beberapa
cara mengatasi diskriminasi gender, yaitu:
1. Perempuan harus membedakan kebutuhan praktis
dan kebutuhan strategis..
2. Temukan peran produktif perempuan (ini
merupakan kekuatan) yang dapat mengubah situasi.
3. Cari cara untuk mengubah posisi dan peranan
perempuan dan usahakan peningkatan posisi mereka.
4. Cari faktor-faktor penyebab yang membuat
perempuan kurang mempunyai akses dalam masyarakat, baik dilihat dari aspek
sosial, ekonomi, politik.
5. Identifikasi kebutuhan khusus perempuan,
seperti perlindungan dari tindak kekerasan, pemekorsaan/pelecehan.
6. Catat semua hak perempuan sebagai pribadi serta
tingkatkan pendidikan perempuan muda tentang hal-hal yang berhubungan dengan
menstruasi dan kehamilan.
Untuk
mengatasi diskriminasi kaum minoritas hal yang paling penting ialah kita harus
menyadari bahwa semua manusia memiliki hak yang sama, dan yang membedakan
adalah kebaikan yang kita miliki. Kepada pemerintah agar lebih memperhatikan
kesejahteraan perempuan, terutama dalam pengambilan kebijakan atau keputusan
agar tidak menutup akses perempuan dalam ikut serta mengmbangkan skillnya. Bagi
para penegak hukum, agar melaksanakan hukum dengan baik terutama yang
menyangkut kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya bagi masyarakat dalam
menjalankan kehidupan terutama rumah tangga hendaknya memperhatikan kewajiban
dan hak, status dan perannya dalam keluarga, agar tidak terjadi diskriminasi
gender.
BAB
III
KESIMPULAN
Reformasi relasi gender dan hak azasi politik tidak
membandingkan antara laki-laki dan perempuan, bahkan keduanya ini dilibatkan
dalam suatu bidang pembangunan yang khususnya bidang politik. Majunya suatu
negara tidak tergantung pada suara kaum laki-laki saja, tetapi kaum perempuan
pun ikut bersuara. Artinya, seluruh warga masyarakat di berikan hak berpendapat
kebijakan dalam suatu pemerintahan, hak memilih dan dipilih, hak keikutsertaan
dalam berpolitik, hak mendirikan parpol atau organisasi lainnya, ini berarti
bahwa setiap warga negara baik laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak
yang setara dalam segala bentuk kehidupan di masyarakat, termasuk dalam
kegiatan berpolitik.
Kondisi saat ini di negara Indonesia mengenai
reformasi relasi gender dan hak azasi politik pada akhirnya mampu diimplementasikan
dengan munculnya tindakan afirmatif action, yaitu kuota 30 % bagi perempuan
Indonesia yang terangkum dalam Undang-Undang Pemilu No. 12 Pasal 65 Tahun 2003.
UU ini secara signifikan mendukung perwakilan perempuan dalam bidang politik.
Oleh karena itu, relasi gender dan hak asasi politik sangatlah berhubungan demi
pembangunan dalam bidang politik.
DAFTAR
PUSTAKA
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/21/16192911/perempuan.indonesia.masih.dalam.belenggu.diskriminasi
https://idabudhiati.wordpress.com/kuota-30-perempuan/
http://calonsosiologsejati.blogspot.co.id/2014/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_29.html?m=1